Sabtu, 22 Desember 2018

Puisi - Panjatnya, "Kepada Bapa Kami di Surga"

Panjatnya, "Kepada Bapa Kami di Surga"
oleh diatama

sumber: Veronica Koman

bangsa tak terpeta berdarah di tanah emas
sepatu menginjak perut lapar
hutan adat kami diancam
di depan dahi, moncong senjata tertawa liar
tapi mereka tutupi dari para pencari kabar

kami lari
peluru berdesing
pukulan tak sungkan nyaring
langit jatuhkan requiem kimiawi
"oh, ini cinta?"
satu menjadi harga mati
ya, nyawa saudara-saudara kami tampak tak berarti

mereka merekat paksa, tanpa hangat rasa
masih manusiakah kami di mata mereka?

Bapa, tuntun kami ke damai kerajaan-Mu
berkati juang melawan penindas yang belum puas hati

Desember, dua puluh dua
cemara belum kami hias
anak cucu belum sempat berkelakar tentang Sinterklas
perempuan ingin merajut noken
lelaki awas terhadap tegap tentara
pemuda rantau khusyuk senandungkan puja-puji
tentu bersama doa-doa revolusi
kendati badan remuk pasca dipukuli
tapi kasih Natal tak terusik dalam nurani termurni
meski tak mengerti, apakah esok masih ada napas ini

bersama Papua, 22 Desember 2018

Ps: maaf, tadinya pengen pakai gaya bicara Papua tapi gak bisa T_T
Ps.s: tolong jangan ngoceh gak jelas tentang kawan-kawan Papua, apalagi bawa-bawa muatan politik 2019, apalagi pakai ngata-ngatain rasis. kalau mau memahami Papua, banyak-banyak baca dan ayo diskusi dengan waras nan terbuka. kalau gak mau, ketimbang gak bisa berempati mending sana terusin koar-koar tentang negeri orang, atau kisruh kampret-cebong, atau mabok agama atau mabok minuman juga gapapa.

Minggu, 09 Desember 2018

Puisi - Puisi yang Belum Selesai


10 Desember ke-70 sejak hari itu ....

sumber: https://www.bbc.co.uk/programmes/p06v2qs2

Puisi yang Belum Selesai

setiap aksara terwujud nyawa
tetes darah selalu bicara
hitam masih lebih kelam
selama apa pun sembunyi tenggelam

antara ingat dan lupa, kita bertanya pada hujan sepuluh Desember
berapa keringat dan air mata, dari mula hingga sisa meluber
payung hitam lebih merah ketimbang rona mawar merekah
uang menguras air dan tanah, bahkan nyawa dapat tertumpah

"manusia!"
begini kita berkata pada kaca
yang basah
buram lalu dipecah
siapa?

tugas kita esok hari
berjuang menggali
bertahan kini
jangan berhenti
tersebab hari lalu
terlalu, terharu palsu

Malang, 10 Desember 2018
(diatama)

Kamis, 13 September 2018

Untukmu yang (Dianggap) Kuat

Untukmu yang menjadi tombak, perisai, dan pedang dalam satu waktu ... aku melihat sepi terpatri di senyummu. Aku merasakan kekuatan di dalam kelemahanmu.

Mereka memiliki alasan percaya. Meski kamu pun bukan dewa. Kadang, kamu tidak sesuai kriteria, tapi jangan mencoba menjadi sempurna; cukup menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Kadang, kamu berpura-pura. Mendustai warna yang tercermin di sorot mata. Mungkin berlagak kuat bukan semata-mata karena altruisme yang mendarah, tapi juga karena ego dan topeng yang telanjur melekat. Di mana rumah tempatmu bisa menjadi kamu yang kamu saja?

Mereka menganggapmu lebih kuat, hebat, pintar, cakap, dan berani dari seharusnya. Mereka menganggapmu lebih sabar, damai, dan tidak mudah terluka dari kenyataannya. Hingga kadang mereka membiarkanmu saat kamu butuh untuk tidak dibiarkan, atau meninggalkanmu saat kamu butuh rekan untuk melawan.

Untuk semua kamu, yang bisa jadi meliputi aku~ selamat berjuang! jangan sampai berputus asa. Kamu tidak sendiri.

Di depan cermin, 13 Sept 2018

Senin, 20 Agustus 2018

Puisi - Menanam Bandara, Memanen Durjana

Puisi ini dibacakan dalam acara Panggung Solidaritas untuk warga Kulon Progo di taman depan Cyber Mall Malang (28/07).

Menanam Bandara, Memanen Durjana
oleh diatama

baca puisi diiringin Pram Canopy (FJS/Rizka)

Dari puing-puing mengudara doa-doa
milik mereka yang ditindas penguasa
Alam masih bungkam
tapi haruskah menunggunya muntah?

konsinyasi dimainkan
pengayom-pengayom dibutakan
pelanggaran hak kemanusiaan dihalalkan
bahkan, Tuhan pun dilupakan
Maha Benar penggusuran penuh atas nama
di negeri agraris yang kian giris
di mana nasib rakyat tidak sepenting
keuntungan negara
hahahahaha

Sawah dan kebun diratakan
Selamat makan beras impor, Kawan

hahahahaha
Rumah warga ditumbalkan
pekerjaan disempitkan
Air kelak menjadi barang mahal
Murka alam mengancam
Selamat menyesal, Kawan

... dan kepada kalian yang masih sadar
mari berbagi nyala
menjadi barisan lipat ganda
melawan, bertahan
sampai rakyat menang!
Panjang umur perlawanan!


konsolidasi pra-kongres PPMI, 28 Juli 2018

Minggu, 22 Juli 2018

Puisi - Migrasi Bintang-bintang

Puisi ini untuk saudara-saudara kita (terutama adik-adik) yang tergusur dari tanah kelahirannya. Apa yang menimpa mereka adalah bukti bahwa UUD 1945, khususnya pasal 29 belum bisa dijalankan apa adanya. Terima kasih untuk kawan Syams dan Wahyu yang kuribetin. Terima kasih untuk Ibu Kepala Suku(?) Siti Rohmah dan Suayyah yang mau membacakan. Suatu hari, aku ingin ke sana. Meski kemarin yang bisa ke sana cuma puisi saja. :")

Migrasi Bintang-bintang

Pada zaman sekarang, di dimensi lain 
anak-anak bintang menyeberangi Bima Sakti
menuju langit yang sama dengan kita

tidak boleh ada dendam berbalas buruk
jika mereka punya mimpi yang lebih baik
mungkin pada suatu waktu
dunia akan melunturkan kerak ego
sebenarnya dunia baik hati

bintang-bintang belum cukup mengerti
tapi mereka punya hati yang murni
kata kesatria kucing yang menaiki pelangi
“setiap detik adalah pilihan. setiap detik adalah kesempatan. setiap detik adalah pelajaran.
apa pun.
di mana pun.
kapan pun.
bagaimana pun.
oleh siapa pun.”
setidaknya, tentang itu bintang bisa mengerti.

kita harus seperti bintang,
bukan malah mengadopsi sifat jelek binatang
yang tidak dikaruniai pikiran.

di mana ada tanah
bintang dapat mekar menjadi bunga-bunga
di mana ada air
bintang dapat kokoh seperti batu karang indah
di mana ada udara
bintang dapat bernyanyi tanpa terlambat jutaan tahun cahaya
... karena sekali mereka bintang,
mereka pasti menemukan jalan untuk menjadi terang
sesuai keadaan yang terjadi

kita pasti bisa menjadi bintang
menerangi dan melindungi apa yang kita sayangi
jadi, jangan lelah
jangan putus asa setelah menangis
jangan marah terlalu lama
jangan menahan tawa
jangan lupa belajar
jangan takut berjuang jika benar
jagalah dan terus bersama

bintang-bintang terang di langit yang baru
meski kadang tak terlihat saat pagi biru
akan ada malam yang pulang
sayang kita tidak bisa mengintip skenario waktu
bintang-bintang tersenyum riang
tidak bosan menunggu Tuhan untuk menuliskan
"happy ending"

Selamat malam, adik-adik
Kalian juga seperti bintang
Jadi tetaplah semangat meraih bintangmu
kami menyayangi dan mendoakanmu

diatama
Malang, 20 Juli 2018

Jumat, 29 Juni 2018

Yang Tidak Habis-habis di Tahun Politik

“Ih, katanya agen perubahan tapi kok golput.” Ada tulisan bernada demikian dibagikan di salah satu grup literasi. Ada lagi tulisan yang lucu, sengaja saya bintangi dari grup diskusi keagamaan. Diawali dengan sapaan “Saudaraku seiman”, lalu dilanjutkan dengan pernyataan bahwa saat ini kita tengah diserang oleh Kuminis, Ngrasani, Wahyudi, Syahh, dan Muna&Fika. Lalu seperti bisa kita prediksi, ada sentimen etnis, Pilkada, Pilpres, dan ya begitulah. Yang tidak kalah menggelikan tapi miris, adalah fatwa haram golput yang dikeluarkan oleh lembaga besar.

Sejujurnya, tulisan-tulisan semacam itu yang memotivasi saya agar membuat tulisan tandingan. Paling tidak saya ingin mengacaukan arus informasi orang-orang terdekat saya (yang kadang saya recoki agar mengunjungi blog ini) agar tidak tergiring ke satu arus, apalagi arus seperti di atas. Saya ingin menjadi bagian dari perang banjir informasi. Diam sudah bukan solusi.

Yang Tidak Habis-habis di Tahun Politik


Saya akui, menjelang pemilu sebelumnya saya sempat ingin merasakan ikut pemilu. Kelihatan keren gitu jarinya ungu-ungu. Belum lagi iklan menggebu-gebu di layar kaca. Hmmm, janjinya menggiurkan sekali. Alhamdulillah saat itu saya belum cukup umur.

Namun, keinginan saya mulai luntur sejak berdialog dengan kerabat jauh yang menjadi tim sukses partai. Ujung-ujungnya, “Argumenmu bagus, tapi kamu masih kecil. Beberapa tahun lagi sana coba terjun ke politik.” Sayangnya, 'jalan' lain tanpa sadar mulai saya injak. Kemudian, semakin lama saya semakin pesimis melihat suasana politik di negeri ini, sekaligus masih optimis kalau negeri ini bisa lebih baik. Kontradiktif memang, saya juga bingung menjelaskannya. 

Pendidikan politik harusnya masuk ke semua kalangan, karena hak berpolitik bukan cuma hak satu-dua kalangan. Pentingnya politik bagi kehidupan berbangsa memang tidak bisa dipungkiri. Oleh karena itu, haram hukumnya tidak melek politik. Minimal, jangan kudet-kudet banget. Namun, ingat, melek politik bukan berarti harus terjun ke politik, atau malah wajib memilih tokoh politik.

Momen pesta rakyat terasa hambar di hati saya. Rakyat tidak benar-benar berpesta. Malah, di tempat-tempat lain masih ada saja penindasan dan perampasan ruang hidup. Momen yang menghabiskan banyak uang rakyat ini  hanya akan terasa seperti perayaan semu, selagi kondisinya seperti sekarang. Saya setuju dengan pernyataan Galuh, kawan saya, “Pada akhirnya yang dipedulikan hanya benefit masing-masing. Orang tua sibuk membandingkan jumlah amplop, anak muda sibuk pamer foto jari bertinta.”

Nah, di antara orang tua yang sibuk membandingkan jumlah amplop dan anak muda yang sibuk pamer foto jari bertinta, salah satunya ada Golongan Putih alias golput. Karena Golongan Hitam belum populer, maaf ya terpaksa saya masukkan ke Golput. Intinya golput ini tidak memberikan suara secara sah karena berbagai sebab. Mulai dari kesibukan, kesengajaan, sampai tidak mendapatkan hak tersebut. Sebab ketiga bisa seperti tidak mendapatkan surat suara (biasanya di tempat-tempat terpencil), tidak tercatat sebagai pemilih, atau tidak bisa datang ke lokasi pemilihan karena alasan keamanan.

Golput--terutama yang sengaja (saya tidak yakin golput karena alasan ketiga ikut dinyinyirin, tapi kalau iya kok kebangetan) ... dianggap apatis, tidak berpendidikan, tidak nasionalis, pokoknya macam-macam oleh sebagian orang. Mengapa golput dianggap sebagai dosa besar? Kita memiliki hak untuk memilih dan dipilih, jika kita memilih untuk tidak memilih karena tidak ada yang bisa dipilih, apakah itu salah? Fatwa haram? Kalau iya pun, bukankah dalam keadaan darurat, sesuatu yang haram dapat dihalalkan? Saya mengamati sebagian besar rakyat kita cenderung berpikir di dalam kotak saja. Calon yang ada itu, yaudah pokoknya milih, kalau semuanya buruk pilih yang gak buruk-buruk amat. Yang kata si Anu bagus, yang kata si Itu gak zalim, yang didukung tokoh X, yang di TV janjinya paling banyak, dsb. Dengan kata lain, mereka menganggap pemilihan penguasa ini seperti kewajiban, sehingga mereka memaksakan diri memilih.

Pasal yang dapat diarahkan pada golput termaktub dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya pasal 515 yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah.

Jarang kan kasus begitu, yang banyak malah kebalikannya. Dikasih uang dan atau barang buat memilih salah satu pasangan calon. Saya tidak bisa menyalahkan mereka yang termakan politik uang. Bagi saya, yang salah adalah para calon penguasa, elit-elit di baliknya, dan kita yang sadar tapi tidak bisa berbuat  banyak untuk menyadarkan orang lain. Barangkali, hanya di momen-momen ini saja, segelintir rakyat merasa dihargai. Meski nominal uang tidak seberapa, tapi daripada tidak sama sekali, dan bagi mereka siapa pun yang terpilih nantinya juga paling-paling sama saja. Kata peribahasa Minang sih, kurang lebih artinya, cuma ganti monyet ke beruk. “Karena suara anda sangat berharga. Karena itu suara anda saya beli.” Baru calon saja sudah main nakal, apalagi nanti. Ckckck.

Sedikit menghibur, tidak semua rakyat mau dibodohi. Ada yang menolak dengan keren atau mengambil uang tapi memilih membuat surat suaranya tidak sah. Bukan rahasia lagi kalau acara-acara politik makan uang banyak.  Di belakang mereka bisa ada perusahaan, oknum lain, bahkan rentenir. Malah  pernah ada calon yang sampai stress karena tidak terpilih padahal sudah habis uang banyak. Kalau calon seperti ini berhasil jadi pun, bisa dibayangkan risiko di depan. Banting tulang nyari kekayaan buat balik modal, balas jasa dengan mempermudah izin usaha tanpa mengikuti prosedur wajib, dan atau menjadi eksekutor rencana oknum lain.

Saya rasa kita perlu mempertanyakan demokrasi. Apakah negara kita yang katanya negara demokrasi telah memiliki akhlak demokrasi itu sendiri (dan apakah itu tepat kita terapkan, atau sebenarnya sudah tepat hanya saja kurang diwujudkan). Pesta rakyat semacam ini apakah memang harus begini? Benarkah ini yang diharapkan para pendiri bangsa, benarkah yang seperti ini tidak melenceng dari Pancasila. Menurut saya kok melenceng ya. Hiks. Tuhan terkesan dimonopoli, kemanusiaan dilupakan--apalagi keadilan kayak mainan, memecah persatuan dengan gorengan isu perbedaan, pemilihan perwakilan yang tidak mufakat, bahkan tidak mengikuti asas Luber Jurdil (Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur dan Adil).

Golput memang bukan solusi, tapi saya berharap golput bisa menjadi refleksi. Jujur saya salut mendengar berita kemenangan kotak kosong di beberapa lokasi. Semoga angka golput yang tinggi mengarah pada inisiatif baik. Mungkin para partai akan berbenah. Mungkin pemerintah introspeksi diri. Mungkin kriteria calon penguasa dapat  ditambah/diubah agar lebih bisa diterima rakyat. Semoga rakyat dapat menentukan langkah lanjutan dan mengetahui apa yang mereka butuhkan.

Saya menulis coretan subjektif ini bukan untuk mengajak golput (apalagi golhit). Semua kembali ke hati kalian. Kalian bebas memilih calon A, B, C, atau tidak memilih. Sadarlah, kita semua punya hak untuk itu. Apabila kalian memilih salah satu pasangan calon, pastikan kalian benar-benar mengenali mereka. Jangan cuma terbuai pencitraan atau tulisan bernada positif, pastikan lagi. Benarkah mereka pengayom rakyat atau diam-diam ikut memperpanjang penindasan rakyat? Oleh karena itu, kita harus peka pada lingkungan sekitar kita. Kita boleh peduli pada kasus-kasus di luar negeri, tapi jangan menutup mata atas ketidakadilan di negeri sendiri. Suara kita mahal, jangan mau dibeli murah untuk diganjar dengan penindasan parah.

Selain untuk menambah arus tandingan, tulisan ini juga bertujuan untuk meninggalkan jejak pemikiran, merawat kesadaran, dan menjadi pembanding diri saya sendiri beberapa tahun lagi. Sampai saat ini saya bukan orang yang penuh harapan akan pemilihan-pemilihan wakil rakyat untuk duduk di kursi kekuasaan. Saya tidak berkata semua wakil rakyat itu buruk. Saya percaya masih ada wakil rakyat yang berdedikasi tinggi, tapi sayangnya mereka kurang terdengar, kurang terlihat, dan sangat kurang banyak. Mungkin nanti ada yang membuat saya percaya lagi. Mungkin nanti ada yang bisa membuat saya percaya lagi, dan mereka benar-benar terbukti dapat dipercaya.

(diatama)

Senin, 28 Mei 2018

30HariMenulis - May Day, Tentang dan Untuk Siapa?

Tulisan yang sempat bikin dilema mau ditaruh mana. Sempat menawarkan data pada teman-teman lain, tapi mereka belum mau mengeksekusi. Keburu bulan Mei berlalu, akhirnya saya tulis di sini. ^~^

May Day: Tentang dan Untuk Siapa?

1 Mei tanggal merah. Bagi sebagian orang, tidur adalah kegiatan yang cocok untuk mengisi tanggal merah. Lumayan untuk mengurangi lelah atau menyegarkan diri usai menjalani ruwetnya rutinitas.

Ada pula kalangan yang memilih turun ke jalan guna memperingati tanggal merah. Pendek kata, demo. Balai Kota adalah tempat yang cocok. Salah satu massa aksi yang saya ketahui long march menuju Balai Kota. Mereka adalah Front Perjuangan Rakyat (AGRA, FMN, GSMI, SERUNI, KABAR BUMI, PEMBARU, LMND Pusat), SPBI Malang, LMND Malang, AMP Malang, Resister Indonesia, Women March, UAPM INOVASI, LPM Siar, KAMMI UIN, HMI Psikologi UMM, MCW, Intrans Institute, HMI Tarbiyah UIN, FNKSDA Malang, Kristen Hijau, AJI Malang, GMKI, HMI Unisma, LBH Malang, GMNI UM, HMI Bahasa UIN, HMI UM, HMI Medis UMM, yang bersatu dalam Aliansi Rakyat Malang.

Familiarnya sebagian besar elemen massa aksi tersebut (dan memang ada ketertarikan mengikuti aksi tetapi sayang hanya atas nama individu) membuat saya memilih liputan. Saya kurang berpikir panjang mau menulis di mana, berfokus ke mana, bahkan model tulisan apa. Saat itu, saya cuma ingin berangkat, terus menulis. Perkiraan massa aksi sampai Balai Kota pukul 10.00 WIB. Lalu lintas yang padat membuat saya baru sampai pukul 10.23 WIB meski sudah bersiap sejak 09.04 WIB. Aplikasi ojol pun sempat sibuk hingga tidak ada yang menerima pesanan saya.

Pekikan orasi terdengar dari arah Balai Kota. Saya berlari ke sumber suara sambil berusaha mencerna keadaan. Ada dua massa aksi. Massa aksi pertama menyuarakan aspirasi di depan kantor DPRD Malang. Mereka terdiri atas kaum buruh dan mahasiswa hukum, tepatnya Forum Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan UB dan Badan Eksekutif Mahasiswa. Saya bergeser ke massa aksi di depan Balai Kota. Saya mengenali bendera teman-teman organisasi ekstra, bahkan ada teman-teman driver ojek online (pantas tadi pesanan saya tidak ada yang menerima). Aksi May Day 2018 dijaga oleh 300 personel polisi yang ditempatkan di empat titik di Malang.

Di mana ada sesuatu yang memiliki nilai berita, di situ ada para pemburu berita. Selain pers umum, banyak teman-teman pers mahasiswa lain yang meliput jalannya May Day 2018. Alhamdulillah ada teman berkeliling meski ganti-ganti. Terlebih lagi, saat itu ponsel saya sedang error alias gampang nge-lag (sekitar dhuhur malah tidak bisa digunakan sama sekali). 

Massa aksi dari kaum buruh dan mahasiswa hukum (DISPLAY/Andri)
Saya berkesempatan mengobrol dengan Ibu Markati, buruh borongan dari pabrik rokok Pakis Mas. Ibu Markati datang bersama anak, menantu, dan cucunya yang berusia sekitar 6-7 tahun. Meski tidak bisa lama berdiri di barisan bersama buruh lain, tapi Ibu Markati berkata bahwa ia senang berhimpun dan ikut berjuang.

Ibu Markati sudah bekerja selama 15 tahun. Perusahaan Pakis Mas tidak memberikan cuti tahunan. Tiap tahun mereka selalu berdemo, tapi belum ada tuntutan yang terjawab. Berdasarkan isi orasi yang saya tangkap, tuntutan massa aksi pertama tidak jauh berbeda dengan Tiga Tuntutan Utama (Tritura) yang disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal  pada metro.sindonews (01/05). Secara garis besar tuntutan itu adalah penurunan harga dan tarif kebutuhan pokok, penolakan atas upah murah (dengan kata lain pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan), dan tentang Tenaga Kerja Asing dalam Peraturan Presiden No 20/2018 tentang TKA. Namun, buruh perusahaan-perusahaan yang mengikuti aksi juga menyampaikan aspirasi darurat di perusahaan mereka, seperti Pakis Mas.

Saya teringat ceramah dosen Etika Profesi, “Kalian itu boleh keluar kalau hak-hak kalian tidak diberikan oleh perusahaan. Kakak tingkat kalian ada yang keluar sebulan setelah masuk karena pabrik kimia yang dimasukinya tidak menerapkan keselamatan kerja dengan baik.” Kemudian saya tergerak menanyakan mengapa Ibu Markati tidak mencoba mencari pekerjaan di tempat lain. “Ibuk wis tuwo, Ndhuk. Ora payu. Opo maneh Pakis Mas cedhak teko omah. Ibuk biasa budhal mlaku. Sing penting kerja halal, insyaaAllah barokah,” jawab Ibu Markati sambil tersenyum. Cucu Ibu Markati ikut nimbrung numpang menepuk-nepuk pipi saya lalu berlari ke teman-teman sebayanya.

Ternyata bukan cuma Ibu Markati yang datang bersama keluarga. Paling tidak ada empat anak kecil yang saya lihat. Salah satu di antaranya tengah mengibar-ngibarkan bendera serikat buruh dan tertawa. Lamunan saya terusik oleh seruan menantu Ibu Markati, “Nak, aja adoh-adoh. Ning kono ana kawat berduri.” Si Cucu pun berbalik dan berlari menuju orang tuanya. “Anak cucu pengen ikut, buat jaga Ibuk katanya,” ucap Ibu Markati dengan pandangan tidak lepas dari cucunya.

Beberapa menit kemudian, saya pamit pada keluarga tersebut untuk menengok massa aksi sebelah. Dari tempat saya sebelumnya, orasi mereka agak teredam lantangnya pengeras suara orasi massa aksi pertama. Tuntutan massa aksi ini juga tidak jauh-jauh dari kesejahteraan buruh. Sesekali aksi diselingi dengan menyanyikan lagu Darah Juang, Buruh Tani, dan Totalitas Perjuangan. Sekitar pukul 11.30 WIB massa aksi ini kembali ke titik kumpul di Gajayana. Di tempat lain, korlap massa aksi pertama dan Pak Lutfi PBSI masuk untuk bernegosiasi dengan dewan.

Tidak lama setelah itu, massa aksi ketiga yakni Aliansi Rakyat Malang sampai di depan Balai Kota. Mereka menuntut rezim Jokowi-JK untuk mewujudkan demokratisasi, kesejahteraan dan regulasi perlindungan buruh, situasi lingkungan kerja yang aman bagi perempuan dan penyandang disabilitas, pendidikan mudah, jaminan sosial, serta reforma agraria sejati. Mereka menuntut untuk menghentikan kriminalisasi, intimidasi, sampai penghilangan paksa rakyat yang menentang kebijakan tidak pro rakyat. Mereka juga menolak agresi militer dalam ranah sipil dan intervensi imperialis.

Massa aksi Aliansi Rakyat Malang (SIAR/Ugik)

“Bentuk ilusi rezim adalah seolah ada ruang-ruang demokrasi, tapi kenyataannya justru malah dipersempit. Hak-hak rakyat pun dibatasi untuk melanggengkan kekuasaan. Di tengah banyaknya konspirasi oligarki, tidak ada pilihan selain percaya pada kekuatan bersama alias persatuan,” tukas Putut AGRA, salah satu anggota Aliansi Rakyat Malang. Persatuan tersebut dapat dilihat dari beragamnya elemen massa aksi. Ketika ditanya keterkaitan massa aksi ketiga dengan dua massa aksi sebelumnya, Putut mengatakan bahwa ini adalah konsekuensi ruang demokrasi. Namun, semua memiliki tujuan yang sama. Ada kemungkinan di momen lain mereka dapat melebur sebagai massa aksi yang lebih besar.

Massa aksi ini tidak bernegosiasi, mereka hanya menyampaikan aspirasi. Hari libur menyebabkan kurang optimalnya sebuah negosiasi. Belum tentu menghasilkan putusan. Namun, ditinjau dari animo dan partisipasi peserta ... Putut merasa aksi kali ini dapat dikatakan berhasil.

“Hmmm, demo ya? Rame sih katanya, tapi kalau aku jadi pemilik perusahaan, jujur tidak berefek. Perusahaan pasti memiliki alasan memberlakukan kebijakan demikian. Perusahaan bisa mencari buruh lagi,” ujar teman saya anak Manajemen yang pernah melakukan penelitian di perusahaan kecil. Lebih lanjut ia bercerita bahwa satu orang buruh saja libur dalam satu hari, perusahaan sudah rugi sekian juta.

“Karena itu aku tidak mau menjadi buruh, aku mau menjadi karyawan,” imbuhnya. Ketika saya mengatakan bahwa itu cuma sebutan, menurutnya tetap berbeda. Katanya, buruh harus kerja supaya mendapat upah. Sementara karyawan tetap digaji meski tidak bekerja. Saya berpikir agak keras mendengar penafsiran teman saya.

Pada dasarnya, menurut Eksiklopedi Bahasa Indonesia ... buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama. Namun, "buruh" kerap dikonotasikan sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. Sedangkan pekerja, tenaga kerja, dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang dalam bekerja lebih menggunakan otak atau disebut juga buruh profesional. Empat kata ini sama-sama pekerja dan merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia.

Sah-sah saja jika ada kecurigaan bahwa pemilahan terminologi buruh, pekerja, pegawai, dan karyawan sengaja digunakan untuk memecah konsolidasi kekuatan kelompok ini dalam berhadapan dengan penguasa dan pengusaha (Shidarta, 2015).

Intinya, perusahaan tetap butuh buruh. Buruh senantiasa menambah kekayaan pemilik perusahaan. Namun, buruh ini bisa dengan mudah digantikan oleh orang-orang lain. Perusahaan tidak bisa sewenang-wenang, sedangkan buruh pun harus menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak mereka secara benar. Bila memungkinkan, buruh bisa menyambi melakukan hal lain selain menjadi buruh, atau malah menabung untuk berwirausaha agar tidak menjadi buruh selamanya.

1 Mei bukan cuma tanggal merah, meski tidak semua "buruh" merasakan ikatan dengannya. Lalu, buat apa demo? Saya teringat pertanyaan abstain dari teman-teman, termasuk dari teman LPM, saat saya mengajak mereka. Saya kurang mengerti apa ini digeneralisir untuk semua jenis demo atau demo tertentu. Teman saya yang lain juga bertanya mengapa mereka tidak melakukan hal yang lebih elit? 

Saya sudah menemukan jawabannya. Ketika berada di radius yang  dapat mendengar seruan mereka dan memandang wajah-wajah itu. Aspirasi-aspirasi lain disuarakan. Meski berbeda suara dan kelompok, semua memang saling berhubungan. Dan apabila dirunut, semua memiliki akar yang sama. Jawaban terburuk, aksi berfungsi sebagai selebrasi, pengingat, dan pengetuk nurani. Meski kita bukan buruh, atau merasa tidak termasuk dalam bagian kaum buruh, bukan berarti kita harus menolak peduli pada nasib mereka. Saya pun pamit dari lokasi. Sayup masih terdengar seruan:
Hidup Kaum Buruh!

Karena nasib kita sama
Kita tak perlu berjuang sendirian
Karena musuh kita sama
Mari kita lawan bersama
Hanya ada satu kata: Lawan
(Tulisan di kaos FPBI)

(diatama)
Referensi
business-law.binus.ac.id/2015/05/01/semiotika-terminologi-tenaga-kerja-buruh-pekerja-pegawai-dan-karyawan/
https://metro.sindonews.com/newsread/1302163/170/may-day-2018-ini-tiga-tuntutan-utama-buruh-indonesia-1525158buruh
Press Release Aliansi Rakyat Malang

#Hari12 #30HariMenulis

(Ini adalah salah satu tulisan pilihan dari seri 30 hari menulis)