Senin, 16 Oktober 2017

Filosofi Pintu

Kesah yang mencoba objektif. Mungkin hanya segelintir yang memahami bagaimana rasanya menjadi 'pintu'.

FILOSOFI PINTU



Aku terpekur di kelas yang lengang. Bangku-bangku bisu, bising-bising asing, dan pintu yang setengah terbuka. Pintu itu seakan bercerita padaku ... tanpa ketuk dan decit menuju aus.

“Halo, anak manusia yang membasahi angin. Tidak semua yang menutup adalah gelap. Tidak semua cahaya adalah baik. Tidak semua yang diam adalah kosong. Tidak semua kata-kata memiliki makna. Siapakah kunci dan siapakah lantai? Siapakah kamu dan siapakah kamu?”

Barangkali, diri adalah pintu. Ada pintu mencolok yang senantiasa terbuka. Ada pintu sederhana yang menutup ruangnya. Ada pintu yang tersamar antara terbuka dan rahasia. Barangkali, diri dapat menjadi segala jenis pintu. Tergantung asas waktu dan kondisi.

Kutampung suara-suara infra dari beberapa kepala ... di tengah riuhnya mayor yang merasa “semua”. 

“Halo, suara di luar kepala. Saat kubuka pintuku, tak ada yang menaruh tahu. Semua melintas lalu. Namun, saat ia kututup, semua berbalik dan melempar cerca. Aku tahu simpang selalu ada, tapi mengapa yang mana pun dipandang salah?” 

“Malam (selalu), untukmu kukalengi bintang-bintang, lantas kuawetkan buat langit esok dan esoknya lagi. Malam (selalu), pagimu membiru dalam sajak terpinggirkan. Sebuah pagi yang kauberikan untuk jiwa-jiwa yang setara dengan bintang. Terang di gelapmu, tanpa mengubah apa pun itu.”

“Pintu di pintuku, haruskah kau kubuka? Namun, akan terpolutan debu-debu durjana, kencingnya tikus-tikus  berkaki dua ahli neraka, bahkan wajah-wajah rupawan penuh borok tersembunyi. Ruangku bukan ruang suci, hanya ruang bernurani.”

“Pintuku, sampai kapan kau kubuka? Pada siapa kau bisa kubuka? Kenapa kau tak bisa diterima sebagaimana adanya?”

Fenomena yang kuamati adalah pola beda-orang-beda-perlakuan. Pada golongan tertentu, seseorang bisa menjadi dirinya, sedangkan pada golongan lain ia bisa mendempul diri sebanyak-banyaknya. Orang yang dikira tertutup akan terbuka pada orang yang menurutnya tepat. Orang yang hobi gaduh akan membisu di waktu yang tepat. Contohnya, ada orang yang berpikir panjang untuk mengatakan kalimat singkat pada sekelompok orang, tapi bisa begitu ekspresif (kadang malu-maluin) pada kelompok lain. 

Apakah ini merupakan kesalahan? Apakah masih saatnya kita mempermasalahkan siapa untuk siapa? Menurutku, tiap orang punya pembenaran masing-masing. Hanya saja, yang sering kudengar adalah kalimat-kalimat kosong. Kepedulian kosong, afeksi hambar, alasan yang dicari-cari, kesalahan yang terlalu digali, berbeda itu aneh, berbeda harus sama, atau ikuti saja arusnya. Permainan sudut pandang kerap membuatku menahan tawa (seperti kawan-kawan yang dipecundangi karena memenuhi rasa kemanusiaan, tidak semua orang bisa melihat tawa lepasku). 

“Mereka tidak mengerti rasanya menjadi aku,” cerita seorang teman yang lumayan saling becermin denganku. “Jika semua orang seperti itu, siapa yang akan membantu? Toh mereka mudah meninggalkan sesiapa, mengkambinghitamkan orang yang lungkrah karena mati-matian hidup di era tukang dagang. Lain cara dibilang mengabaikan. Menunda karena urgensi keadaan dikira meninggalkan. Mencibir jika aku menangis di pundak yang lain, tapi tak ada untuk tertawa bersama.”

Kembali aku melihat pintu. Ia ibarat pintu yang berubah seiring cuaca. Sebenarnya bisa dibuka, tapi tak ada yang maju. Sebenarnya tertutup juga, lalu dimaki karena hal itu. Padahal ia adalah pintu. 

Silakan datang. Silakan hilang. Silakan pulang. Beginilah adanya ruang.
(diatama)