Senin, 28 Mei 2018

30HariMenulis - May Day, Tentang dan Untuk Siapa?

Tulisan yang sempat bikin dilema mau ditaruh mana. Sempat menawarkan data pada teman-teman lain, tapi mereka belum mau mengeksekusi. Keburu bulan Mei berlalu, akhirnya saya tulis di sini. ^~^

May Day: Tentang dan Untuk Siapa?

1 Mei tanggal merah. Bagi sebagian orang, tidur adalah kegiatan yang cocok untuk mengisi tanggal merah. Lumayan untuk mengurangi lelah atau menyegarkan diri usai menjalani ruwetnya rutinitas.

Ada pula kalangan yang memilih turun ke jalan guna memperingati tanggal merah. Pendek kata, demo. Balai Kota adalah tempat yang cocok. Salah satu massa aksi yang saya ketahui long march menuju Balai Kota. Mereka adalah Front Perjuangan Rakyat (AGRA, FMN, GSMI, SERUNI, KABAR BUMI, PEMBARU, LMND Pusat), SPBI Malang, LMND Malang, AMP Malang, Resister Indonesia, Women March, UAPM INOVASI, LPM Siar, KAMMI UIN, HMI Psikologi UMM, MCW, Intrans Institute, HMI Tarbiyah UIN, FNKSDA Malang, Kristen Hijau, AJI Malang, GMKI, HMI Unisma, LBH Malang, GMNI UM, HMI Bahasa UIN, HMI UM, HMI Medis UMM, yang bersatu dalam Aliansi Rakyat Malang.

Familiarnya sebagian besar elemen massa aksi tersebut (dan memang ada ketertarikan mengikuti aksi tetapi sayang hanya atas nama individu) membuat saya memilih liputan. Saya kurang berpikir panjang mau menulis di mana, berfokus ke mana, bahkan model tulisan apa. Saat itu, saya cuma ingin berangkat, terus menulis. Perkiraan massa aksi sampai Balai Kota pukul 10.00 WIB. Lalu lintas yang padat membuat saya baru sampai pukul 10.23 WIB meski sudah bersiap sejak 09.04 WIB. Aplikasi ojol pun sempat sibuk hingga tidak ada yang menerima pesanan saya.

Pekikan orasi terdengar dari arah Balai Kota. Saya berlari ke sumber suara sambil berusaha mencerna keadaan. Ada dua massa aksi. Massa aksi pertama menyuarakan aspirasi di depan kantor DPRD Malang. Mereka terdiri atas kaum buruh dan mahasiswa hukum, tepatnya Forum Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan UB dan Badan Eksekutif Mahasiswa. Saya bergeser ke massa aksi di depan Balai Kota. Saya mengenali bendera teman-teman organisasi ekstra, bahkan ada teman-teman driver ojek online (pantas tadi pesanan saya tidak ada yang menerima). Aksi May Day 2018 dijaga oleh 300 personel polisi yang ditempatkan di empat titik di Malang.

Di mana ada sesuatu yang memiliki nilai berita, di situ ada para pemburu berita. Selain pers umum, banyak teman-teman pers mahasiswa lain yang meliput jalannya May Day 2018. Alhamdulillah ada teman berkeliling meski ganti-ganti. Terlebih lagi, saat itu ponsel saya sedang error alias gampang nge-lag (sekitar dhuhur malah tidak bisa digunakan sama sekali). 

Massa aksi dari kaum buruh dan mahasiswa hukum (DISPLAY/Andri)
Saya berkesempatan mengobrol dengan Ibu Markati, buruh borongan dari pabrik rokok Pakis Mas. Ibu Markati datang bersama anak, menantu, dan cucunya yang berusia sekitar 6-7 tahun. Meski tidak bisa lama berdiri di barisan bersama buruh lain, tapi Ibu Markati berkata bahwa ia senang berhimpun dan ikut berjuang.

Ibu Markati sudah bekerja selama 15 tahun. Perusahaan Pakis Mas tidak memberikan cuti tahunan. Tiap tahun mereka selalu berdemo, tapi belum ada tuntutan yang terjawab. Berdasarkan isi orasi yang saya tangkap, tuntutan massa aksi pertama tidak jauh berbeda dengan Tiga Tuntutan Utama (Tritura) yang disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal  pada metro.sindonews (01/05). Secara garis besar tuntutan itu adalah penurunan harga dan tarif kebutuhan pokok, penolakan atas upah murah (dengan kata lain pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan), dan tentang Tenaga Kerja Asing dalam Peraturan Presiden No 20/2018 tentang TKA. Namun, buruh perusahaan-perusahaan yang mengikuti aksi juga menyampaikan aspirasi darurat di perusahaan mereka, seperti Pakis Mas.

Saya teringat ceramah dosen Etika Profesi, “Kalian itu boleh keluar kalau hak-hak kalian tidak diberikan oleh perusahaan. Kakak tingkat kalian ada yang keluar sebulan setelah masuk karena pabrik kimia yang dimasukinya tidak menerapkan keselamatan kerja dengan baik.” Kemudian saya tergerak menanyakan mengapa Ibu Markati tidak mencoba mencari pekerjaan di tempat lain. “Ibuk wis tuwo, Ndhuk. Ora payu. Opo maneh Pakis Mas cedhak teko omah. Ibuk biasa budhal mlaku. Sing penting kerja halal, insyaaAllah barokah,” jawab Ibu Markati sambil tersenyum. Cucu Ibu Markati ikut nimbrung numpang menepuk-nepuk pipi saya lalu berlari ke teman-teman sebayanya.

Ternyata bukan cuma Ibu Markati yang datang bersama keluarga. Paling tidak ada empat anak kecil yang saya lihat. Salah satu di antaranya tengah mengibar-ngibarkan bendera serikat buruh dan tertawa. Lamunan saya terusik oleh seruan menantu Ibu Markati, “Nak, aja adoh-adoh. Ning kono ana kawat berduri.” Si Cucu pun berbalik dan berlari menuju orang tuanya. “Anak cucu pengen ikut, buat jaga Ibuk katanya,” ucap Ibu Markati dengan pandangan tidak lepas dari cucunya.

Beberapa menit kemudian, saya pamit pada keluarga tersebut untuk menengok massa aksi sebelah. Dari tempat saya sebelumnya, orasi mereka agak teredam lantangnya pengeras suara orasi massa aksi pertama. Tuntutan massa aksi ini juga tidak jauh-jauh dari kesejahteraan buruh. Sesekali aksi diselingi dengan menyanyikan lagu Darah Juang, Buruh Tani, dan Totalitas Perjuangan. Sekitar pukul 11.30 WIB massa aksi ini kembali ke titik kumpul di Gajayana. Di tempat lain, korlap massa aksi pertama dan Pak Lutfi PBSI masuk untuk bernegosiasi dengan dewan.

Tidak lama setelah itu, massa aksi ketiga yakni Aliansi Rakyat Malang sampai di depan Balai Kota. Mereka menuntut rezim Jokowi-JK untuk mewujudkan demokratisasi, kesejahteraan dan regulasi perlindungan buruh, situasi lingkungan kerja yang aman bagi perempuan dan penyandang disabilitas, pendidikan mudah, jaminan sosial, serta reforma agraria sejati. Mereka menuntut untuk menghentikan kriminalisasi, intimidasi, sampai penghilangan paksa rakyat yang menentang kebijakan tidak pro rakyat. Mereka juga menolak agresi militer dalam ranah sipil dan intervensi imperialis.

Massa aksi Aliansi Rakyat Malang (SIAR/Ugik)

“Bentuk ilusi rezim adalah seolah ada ruang-ruang demokrasi, tapi kenyataannya justru malah dipersempit. Hak-hak rakyat pun dibatasi untuk melanggengkan kekuasaan. Di tengah banyaknya konspirasi oligarki, tidak ada pilihan selain percaya pada kekuatan bersama alias persatuan,” tukas Putut AGRA, salah satu anggota Aliansi Rakyat Malang. Persatuan tersebut dapat dilihat dari beragamnya elemen massa aksi. Ketika ditanya keterkaitan massa aksi ketiga dengan dua massa aksi sebelumnya, Putut mengatakan bahwa ini adalah konsekuensi ruang demokrasi. Namun, semua memiliki tujuan yang sama. Ada kemungkinan di momen lain mereka dapat melebur sebagai massa aksi yang lebih besar.

Massa aksi ini tidak bernegosiasi, mereka hanya menyampaikan aspirasi. Hari libur menyebabkan kurang optimalnya sebuah negosiasi. Belum tentu menghasilkan putusan. Namun, ditinjau dari animo dan partisipasi peserta ... Putut merasa aksi kali ini dapat dikatakan berhasil.

“Hmmm, demo ya? Rame sih katanya, tapi kalau aku jadi pemilik perusahaan, jujur tidak berefek. Perusahaan pasti memiliki alasan memberlakukan kebijakan demikian. Perusahaan bisa mencari buruh lagi,” ujar teman saya anak Manajemen yang pernah melakukan penelitian di perusahaan kecil. Lebih lanjut ia bercerita bahwa satu orang buruh saja libur dalam satu hari, perusahaan sudah rugi sekian juta.

“Karena itu aku tidak mau menjadi buruh, aku mau menjadi karyawan,” imbuhnya. Ketika saya mengatakan bahwa itu cuma sebutan, menurutnya tetap berbeda. Katanya, buruh harus kerja supaya mendapat upah. Sementara karyawan tetap digaji meski tidak bekerja. Saya berpikir agak keras mendengar penafsiran teman saya.

Pada dasarnya, menurut Eksiklopedi Bahasa Indonesia ... buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama. Namun, "buruh" kerap dikonotasikan sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. Sedangkan pekerja, tenaga kerja, dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang dalam bekerja lebih menggunakan otak atau disebut juga buruh profesional. Empat kata ini sama-sama pekerja dan merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia.

Sah-sah saja jika ada kecurigaan bahwa pemilahan terminologi buruh, pekerja, pegawai, dan karyawan sengaja digunakan untuk memecah konsolidasi kekuatan kelompok ini dalam berhadapan dengan penguasa dan pengusaha (Shidarta, 2015).

Intinya, perusahaan tetap butuh buruh. Buruh senantiasa menambah kekayaan pemilik perusahaan. Namun, buruh ini bisa dengan mudah digantikan oleh orang-orang lain. Perusahaan tidak bisa sewenang-wenang, sedangkan buruh pun harus menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak mereka secara benar. Bila memungkinkan, buruh bisa menyambi melakukan hal lain selain menjadi buruh, atau malah menabung untuk berwirausaha agar tidak menjadi buruh selamanya.

1 Mei bukan cuma tanggal merah, meski tidak semua "buruh" merasakan ikatan dengannya. Lalu, buat apa demo? Saya teringat pertanyaan abstain dari teman-teman, termasuk dari teman LPM, saat saya mengajak mereka. Saya kurang mengerti apa ini digeneralisir untuk semua jenis demo atau demo tertentu. Teman saya yang lain juga bertanya mengapa mereka tidak melakukan hal yang lebih elit? 

Saya sudah menemukan jawabannya. Ketika berada di radius yang  dapat mendengar seruan mereka dan memandang wajah-wajah itu. Aspirasi-aspirasi lain disuarakan. Meski berbeda suara dan kelompok, semua memang saling berhubungan. Dan apabila dirunut, semua memiliki akar yang sama. Jawaban terburuk, aksi berfungsi sebagai selebrasi, pengingat, dan pengetuk nurani. Meski kita bukan buruh, atau merasa tidak termasuk dalam bagian kaum buruh, bukan berarti kita harus menolak peduli pada nasib mereka. Saya pun pamit dari lokasi. Sayup masih terdengar seruan:
Hidup Kaum Buruh!

Karena nasib kita sama
Kita tak perlu berjuang sendirian
Karena musuh kita sama
Mari kita lawan bersama
Hanya ada satu kata: Lawan
(Tulisan di kaos FPBI)

(diatama)
Referensi
business-law.binus.ac.id/2015/05/01/semiotika-terminologi-tenaga-kerja-buruh-pekerja-pegawai-dan-karyawan/
https://metro.sindonews.com/newsread/1302163/170/may-day-2018-ini-tiga-tuntutan-utama-buruh-indonesia-1525158buruh
Press Release Aliansi Rakyat Malang

#Hari12 #30HariMenulis

(Ini adalah salah satu tulisan pilihan dari seri 30 hari menulis)