Jumat, 29 Juni 2018

Yang Tidak Habis-habis di Tahun Politik

“Ih, katanya agen perubahan tapi kok golput.” Ada tulisan bernada demikian dibagikan di salah satu grup literasi. Ada lagi tulisan yang lucu, sengaja saya bintangi dari grup diskusi keagamaan. Diawali dengan sapaan “Saudaraku seiman”, lalu dilanjutkan dengan pernyataan bahwa saat ini kita tengah diserang oleh Kuminis, Ngrasani, Wahyudi, Syahh, dan Muna&Fika. Lalu seperti bisa kita prediksi, ada sentimen etnis, Pilkada, Pilpres, dan ya begitulah. Yang tidak kalah menggelikan tapi miris, adalah fatwa haram golput yang dikeluarkan oleh lembaga besar.

Sejujurnya, tulisan-tulisan semacam itu yang memotivasi saya agar membuat tulisan tandingan. Paling tidak saya ingin mengacaukan arus informasi orang-orang terdekat saya (yang kadang saya recoki agar mengunjungi blog ini) agar tidak tergiring ke satu arus, apalagi arus seperti di atas. Saya ingin menjadi bagian dari perang banjir informasi. Diam sudah bukan solusi.

Yang Tidak Habis-habis di Tahun Politik


Saya akui, menjelang pemilu sebelumnya saya sempat ingin merasakan ikut pemilu. Kelihatan keren gitu jarinya ungu-ungu. Belum lagi iklan menggebu-gebu di layar kaca. Hmmm, janjinya menggiurkan sekali. Alhamdulillah saat itu saya belum cukup umur.

Namun, keinginan saya mulai luntur sejak berdialog dengan kerabat jauh yang menjadi tim sukses partai. Ujung-ujungnya, “Argumenmu bagus, tapi kamu masih kecil. Beberapa tahun lagi sana coba terjun ke politik.” Sayangnya, 'jalan' lain tanpa sadar mulai saya injak. Kemudian, semakin lama saya semakin pesimis melihat suasana politik di negeri ini, sekaligus masih optimis kalau negeri ini bisa lebih baik. Kontradiktif memang, saya juga bingung menjelaskannya. 

Pendidikan politik harusnya masuk ke semua kalangan, karena hak berpolitik bukan cuma hak satu-dua kalangan. Pentingnya politik bagi kehidupan berbangsa memang tidak bisa dipungkiri. Oleh karena itu, haram hukumnya tidak melek politik. Minimal, jangan kudet-kudet banget. Namun, ingat, melek politik bukan berarti harus terjun ke politik, atau malah wajib memilih tokoh politik.

Momen pesta rakyat terasa hambar di hati saya. Rakyat tidak benar-benar berpesta. Malah, di tempat-tempat lain masih ada saja penindasan dan perampasan ruang hidup. Momen yang menghabiskan banyak uang rakyat ini  hanya akan terasa seperti perayaan semu, selagi kondisinya seperti sekarang. Saya setuju dengan pernyataan Galuh, kawan saya, “Pada akhirnya yang dipedulikan hanya benefit masing-masing. Orang tua sibuk membandingkan jumlah amplop, anak muda sibuk pamer foto jari bertinta.”

Nah, di antara orang tua yang sibuk membandingkan jumlah amplop dan anak muda yang sibuk pamer foto jari bertinta, salah satunya ada Golongan Putih alias golput. Karena Golongan Hitam belum populer, maaf ya terpaksa saya masukkan ke Golput. Intinya golput ini tidak memberikan suara secara sah karena berbagai sebab. Mulai dari kesibukan, kesengajaan, sampai tidak mendapatkan hak tersebut. Sebab ketiga bisa seperti tidak mendapatkan surat suara (biasanya di tempat-tempat terpencil), tidak tercatat sebagai pemilih, atau tidak bisa datang ke lokasi pemilihan karena alasan keamanan.

Golput--terutama yang sengaja (saya tidak yakin golput karena alasan ketiga ikut dinyinyirin, tapi kalau iya kok kebangetan) ... dianggap apatis, tidak berpendidikan, tidak nasionalis, pokoknya macam-macam oleh sebagian orang. Mengapa golput dianggap sebagai dosa besar? Kita memiliki hak untuk memilih dan dipilih, jika kita memilih untuk tidak memilih karena tidak ada yang bisa dipilih, apakah itu salah? Fatwa haram? Kalau iya pun, bukankah dalam keadaan darurat, sesuatu yang haram dapat dihalalkan? Saya mengamati sebagian besar rakyat kita cenderung berpikir di dalam kotak saja. Calon yang ada itu, yaudah pokoknya milih, kalau semuanya buruk pilih yang gak buruk-buruk amat. Yang kata si Anu bagus, yang kata si Itu gak zalim, yang didukung tokoh X, yang di TV janjinya paling banyak, dsb. Dengan kata lain, mereka menganggap pemilihan penguasa ini seperti kewajiban, sehingga mereka memaksakan diri memilih.

Pasal yang dapat diarahkan pada golput termaktub dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya pasal 515 yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah.

Jarang kan kasus begitu, yang banyak malah kebalikannya. Dikasih uang dan atau barang buat memilih salah satu pasangan calon. Saya tidak bisa menyalahkan mereka yang termakan politik uang. Bagi saya, yang salah adalah para calon penguasa, elit-elit di baliknya, dan kita yang sadar tapi tidak bisa berbuat  banyak untuk menyadarkan orang lain. Barangkali, hanya di momen-momen ini saja, segelintir rakyat merasa dihargai. Meski nominal uang tidak seberapa, tapi daripada tidak sama sekali, dan bagi mereka siapa pun yang terpilih nantinya juga paling-paling sama saja. Kata peribahasa Minang sih, kurang lebih artinya, cuma ganti monyet ke beruk. “Karena suara anda sangat berharga. Karena itu suara anda saya beli.” Baru calon saja sudah main nakal, apalagi nanti. Ckckck.

Sedikit menghibur, tidak semua rakyat mau dibodohi. Ada yang menolak dengan keren atau mengambil uang tapi memilih membuat surat suaranya tidak sah. Bukan rahasia lagi kalau acara-acara politik makan uang banyak.  Di belakang mereka bisa ada perusahaan, oknum lain, bahkan rentenir. Malah  pernah ada calon yang sampai stress karena tidak terpilih padahal sudah habis uang banyak. Kalau calon seperti ini berhasil jadi pun, bisa dibayangkan risiko di depan. Banting tulang nyari kekayaan buat balik modal, balas jasa dengan mempermudah izin usaha tanpa mengikuti prosedur wajib, dan atau menjadi eksekutor rencana oknum lain.

Saya rasa kita perlu mempertanyakan demokrasi. Apakah negara kita yang katanya negara demokrasi telah memiliki akhlak demokrasi itu sendiri (dan apakah itu tepat kita terapkan, atau sebenarnya sudah tepat hanya saja kurang diwujudkan). Pesta rakyat semacam ini apakah memang harus begini? Benarkah ini yang diharapkan para pendiri bangsa, benarkah yang seperti ini tidak melenceng dari Pancasila. Menurut saya kok melenceng ya. Hiks. Tuhan terkesan dimonopoli, kemanusiaan dilupakan--apalagi keadilan kayak mainan, memecah persatuan dengan gorengan isu perbedaan, pemilihan perwakilan yang tidak mufakat, bahkan tidak mengikuti asas Luber Jurdil (Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur dan Adil).

Golput memang bukan solusi, tapi saya berharap golput bisa menjadi refleksi. Jujur saya salut mendengar berita kemenangan kotak kosong di beberapa lokasi. Semoga angka golput yang tinggi mengarah pada inisiatif baik. Mungkin para partai akan berbenah. Mungkin pemerintah introspeksi diri. Mungkin kriteria calon penguasa dapat  ditambah/diubah agar lebih bisa diterima rakyat. Semoga rakyat dapat menentukan langkah lanjutan dan mengetahui apa yang mereka butuhkan.

Saya menulis coretan subjektif ini bukan untuk mengajak golput (apalagi golhit). Semua kembali ke hati kalian. Kalian bebas memilih calon A, B, C, atau tidak memilih. Sadarlah, kita semua punya hak untuk itu. Apabila kalian memilih salah satu pasangan calon, pastikan kalian benar-benar mengenali mereka. Jangan cuma terbuai pencitraan atau tulisan bernada positif, pastikan lagi. Benarkah mereka pengayom rakyat atau diam-diam ikut memperpanjang penindasan rakyat? Oleh karena itu, kita harus peka pada lingkungan sekitar kita. Kita boleh peduli pada kasus-kasus di luar negeri, tapi jangan menutup mata atas ketidakadilan di negeri sendiri. Suara kita mahal, jangan mau dibeli murah untuk diganjar dengan penindasan parah.

Selain untuk menambah arus tandingan, tulisan ini juga bertujuan untuk meninggalkan jejak pemikiran, merawat kesadaran, dan menjadi pembanding diri saya sendiri beberapa tahun lagi. Sampai saat ini saya bukan orang yang penuh harapan akan pemilihan-pemilihan wakil rakyat untuk duduk di kursi kekuasaan. Saya tidak berkata semua wakil rakyat itu buruk. Saya percaya masih ada wakil rakyat yang berdedikasi tinggi, tapi sayangnya mereka kurang terdengar, kurang terlihat, dan sangat kurang banyak. Mungkin nanti ada yang membuat saya percaya lagi. Mungkin nanti ada yang bisa membuat saya percaya lagi, dan mereka benar-benar terbukti dapat dipercaya.

(diatama)